This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 21 Oktober 2011

Empat Hala Yang Menyebabkan Kemurkaan Allah



Sudah lama ingin membuat postingan tentang hal-hal terkait dengan bencana yang terjadi di negeri ini, mulai dari banjir bandang di wasior, tsunami di Mentawai, meletusnya gunung merapi di kawasn DIY dan Jateng, dan hari ini terdengarlah lagi berita di Tvone bahwa Gunung Semeru pun memuntahkan guguran awan panas yang disebabkan lidah lava longsor karena ada pertumbuhan kubah lava. Besok atau lusa tidak menutup kemungkinan kedahsyhatan ditampakan oleh anak gunung krakatau, gunung kerinci, gunung papandayan, dan sejumlah gunung api lainnya. Sehingga bila semua itu terjadi tidak menutup kemungkinan pulau jawa akan menjadi kota yang hilang bahkan mungkin Indonesia akan menjadi sebuah negara yang tinggal hanya ada dalam kenangan dan suatu saat nanti ada orang yang berkata : “dulu di Asia ada sebuah negara yang bernama Indonesia”. Subhanallah jika kata-kata itu terdengar oleh cucu-cucu kita yang saat itu entah telah menjadi penduduk di negeri mana, dan mereka tahu dan sadar kalau kakek dan neneknya itu adalah berasal dari negeri yang hilang itu … “INDONESIA”. Apakah cucu-cucu kita tidak sedih mendengarnya ?, atau justru mereka merasa beruntung dan berbahagia karena tidak pernah mengalami menjadi penduduk negeri ini ?.

Pernahkah kita berpikir kalau semua ini terjadi karena Allah sedang menguji kita, karena seringnya kita bermaksiat kepada Allah dan karena enggannya kita mensyukuri nikmat-Nya ?. Bahkan Allah telah memberikan gambaran kepada kita dalam Al Qur’an bahwa kerusakan di daratan dan di lautan itu disebabkan tangan-tangan manusia ?. Kita semua sering abai dan tidak peduli dengan segala yang telah diperingatkan Allah kepada kita, bahkan tidak jarang kita lakukan seolah-olah menantang Allah atas semua cobaan yang diberikan Allah kepada kita. Sebagai contoh saat semua musibah ini terjadi bukannya semakin mendekatkan diri kita kepada Allah dengan cara memperbanyak berdzikir dan bertaubat kepada Allah, tetapi justru kita malah mempersekutukan Allah dengan yang lain (musyrik) dengan cara mempergunakan jimat yang selalu di bawa kemana-mana agar terhindar dari bencana, naudzubillah.

Setelahnya dulu saya pernah mencoba menuliskan tentang 15 perbuatan penyebab terjadinya malapetaka, sebagai bahan renungan saat ini mari kita simak Sabda Nabi Muhammad berikut ini :
أربعةٌ يُبْغِضُهُمُ اللهُ الْبَيَّاعُ الْحَلاَّفُ والفقيرُ الْمُخْتَالُ والشيخُ الزانى
والإمامُ الجائرُ (النسائى عن أبى هريرة

Artinya :

Ada empat hal yang menyebabkan kemurkaan Allah kepada mereka (ummatnya), yaitu : Penjual yang suka bersumpah, orang fakir yang sombong, orang lanjut usia yang berzina, dan pemimpin yang durhaka (jahat). (H.R. An Nasai dari Abu Hurairah).

Saat ini banyak sekali para pedagang yang menginginkan barang dagangannya laku keras mereka berani bersumpah atas nama Allah padahal sumpahnya sumpah palsu, bahkan tidak hanya cukup sampai disitu kitapun sering mendapatkan para pedagang yang melakukan kemusyrikan demi kesuksesannya dalam berdagang, coba perhatikan di sekitar anda masih adakah warung atau toko di sekitar anda yang memasang jimat peruntungan agar jualannya laris ?. walaupun mereka juga sering berdalih bahwa jimat yang mereka pakai untuk penglaris bukan didapat dari dukun tetapi dari seorang “AHLI HIKMAH” (padahal praktik yang mereka lakukan tidak berbeda dengan praktiknya dukun).

Kitapun sering menyaksikan kesombongan yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang beruntung (fakir), terkedang kita semua tidak habis pikir melihat kelakuan mereka yang sudah sengsara di dunia merekapun seolah menantang Allah untuk menjadi orang yang sengsara di akhirat kelak. Bukankah sering kita melihat saat bulan Ramadlan orang yang (maaf) hanya bekerja sebagai supir di dalam kota, kuli panggul, tukang beca, juru parkir, dll yang tidak menunaikan ibadah shaum ?, padahal kewajiban shaum harus mereka lakukan.

Perzinahan sudah banyak dilakukan oleh semua kalangan, bukan hanya remaja yang melakukan perzinahan itu, anak-anak yang belum aqil balighpun sering kita dengar telah melakukan perzinahan. Yang lebih miris lagi saat ini sering kita dengar perzinahan yang dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya mereka memiliki pasangan yang halal, yang apabila mereka membutuhkan seksual mereka bisa menyalurkannya pada saluran yang halal, bahkan perzinahan saat ini juga dilakukan oleh orang-orang yang sudah lanjut usia yang seharusnya mereka itu menjadi teladan bagi generasi sesudahnya.

Kezaliman dan kejahatan yang dilakukan pemimpin kepada rakyatnya tidak terasa sering kita saksikan juga. Sering kita semua dibuat bingung dengan penegakan hukum di negeri ini, ada orang yang jelas-jelas salah bahkan di-pansus-kan di DPR oleh para anggota Dewan yang terhormat dan dalam pansus tersebut dinyatakan bersalah tetapi sang imam tetap melindunginya (ingat kasus centuri). Ada orang yang belum jelas kesalahannya, hanya karena ada desakan masa (katanya) dan diduga melakukan korupsi dan diduga melakukan pencucian uang di salah satu bank di luar negeri milik putra mantan pemimpin negeri ini, karena orang ini sering berbeda pendapat dengan sang imam walaupun belum jelas kesalahannya sudah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri (ingat kasus pemecatan YIM dan HA). Bahkan mungkin masih banyak lagi kezaliman-kezaliman yang dilakukan para pemimpin kepada rakyatnya, seperti kejahatan yang dilakukan para kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kelurahan/desa termasuk RT/RW. Kejahatan yang dilakukan para pemipin di departemen atau kementerian sampai dengan organisasi-organisasi di bawahnya, bahkan mungkin kejahatan yang dilakukan oleh para kepala sekolah kepada para guru dan para peserta didiknya, naudzubillah.

Coba kita perhatikan dengan seksama apakah keempat hal itu telah banyak dilakukan oleh orang-orang disekitar kita ? atau bahkan mungkin kita salah seorang pelakunya ?.

Wallahu ‘alam.

Keutamaan Puasa Sunnah Arafah



PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni pada saat diberlangsungkannya wukuf di tanah Arafah tanggal 9 Dzulhijah oleh para jamaah haji. Wukuf di Arafah bisa dikatakan sebagai inti dari pada pelaksanaan ibadah haji. Karena itu puasa Arafah ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.



Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah.bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)



Sedangkan puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasapada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafahmenghapuskan (dosa) dua tahun. Walaupun sebahagian golongan mengatakan bahwahadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkanmengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalamkerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yangdimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.



Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yangistimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:


ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا:يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرجبنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء


Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Jadi, bagi mereka yang melakukan puasa Tarwiyah sebelum berpuasa hari Arafah,hendaknya jangan ragu-ragu melaksanakannya, karena tidaklah disangsikan lagibahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya.

Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu,Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim).
Wallohu a'lam bish-shawab,-

Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.”
(HR. Ahmad, sanadnya hasan)

Kamis, 13 Oktober 2011

Indahnya Islam Manisnya Iman



Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim hafidzollahu ta'ala
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد
Judul tulisan ini mungkin sudah terlalu sering kita dengar, tapi kemungkinan besar sedikit sekali di antara kita (termasuk penulis sendiri) yang benar-benar telah merasakan hakikatnya. Seandainya kita mau jujur pada diri kita sendiri, sampai saat ini sudah berapa lama kita menjadi seorang muslim, sudah berapa banyak amal ibadah yang kita kerjakan, akan tetapi pernahkah kita merasakan kenikmatan dan kemanisan yang hakiki sewaktu kita melaksanakan ibadah tersebut?

Maka kalau hakikat ini belum kita rasakan, berarti ada sesuatu yang tidak beres dalam keimanan kita, ada sesuatu yang perlu dipertanyakan dalam keislaman kita. Karena manisnya iman dan indahnya islam itu bukan sekedar teori belaka, tapi benar-benar merupakan kenyataan hakiki yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan dan ketaatan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang wujudnya berupa kebahagian dan ketenangan hidup di dunia, serta perasaan gembira dan senang ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan balasan kebaikan yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya di dunia, sebelum nantinya di akhirat mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dan sempurna. Hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam banyak ayat Al Qur-an, di antaranya:
Ayat pertama:
(مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. ِِan Nahl: 97)
Ayat kedua:
(وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ)
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan berikan kepada mereka (balasan) kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Rabb saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl: 41-42)
Ayat ketiga:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ))
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (QS. Huud: 3)
Ayat keempat:
(قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ)
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala bagi mereka dengan tanpa batas (di akhirat)” (QS. Az Zumar:10)
Dalam mengomentari keempat ayat di atas, Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata: “Dalam keempat ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [Al waabilush shayyib (1/69)]
Kemudian kalau kita mengamati dengan seksama ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mensifati dan menggambarkan ajaran agama islam ini, kita akan dapati bukti yang menunjukkan bahwa agama islam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada manusia sebagai sumber kebahagian hidup yang hakiki dan ketenangan lahir dan batin bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkannya dengan baik dan benar. Di antara ayat-ayat Al-Quran tersebut adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ))
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab ini (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ))
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al Quran) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus: 57)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa Dia ‘Azza wa Jalla tidaklah menjadikan agama islam ini sebagai beban yang memberatkan dan menyulitkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
(يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al Baqarah: 185)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ))
“Allah tidak menghendaki untuk menjadikan kesempitan bagi kamu.” (Al Maaidah: 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ))
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan bagi kamu dalam agama ini suatu kesempitan.” (Al Hajj: 78)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat di atas.
Demikian pula kita dapati hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mensifati agama islam ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas. Misalanya, dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mensifati iman yang sempurna sebagai sesuatu yang manis dan lezat, sebagaimana yang beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (1/14) dan Imam Muslim (1/66):
…” ” ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان
“Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…”
Juga dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (1/62), beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً”
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”.
Berkata Imam An Nawawi – semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menempuh selain jalan agama islam serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam), tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tsb (secara nyata)”. [Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi (2/2)]
Sebagaimana kemanisan dan kelezatan iman ini dirasakan langsung oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam: “وجعلت قرة عيني في الصلاة”
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa-i 7/61 dll dari Anas bin Malik rodiallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam “Shahihul Jaami’” 1/544).
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. [Lihat “Fatul Qadiir”, karya Imam Asy Syaukaani (4/129)]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364) dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal rodiallahu ‘anhu:
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”.
Demikian pula para shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam rodiallahu’anhum dan para ulama ahlus sunnah yang mengikuti petunjuk mereka juga merasakan kemanisan iman ini dalam diri mereka, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam Al-Quran tentang kesempurnaan iman para shahabat rodiallahu’anhum dalam firman-Nya:
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ))
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat: 7)
Dan dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari (1/7) tentang kisah dialog antara Abu Sufyan rodiallahu ‘anhu dan raja Romawi Hiraql, di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan: Apakah ada diantara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya? Maka Abu Sufyan menjawab: Tidak ada. Kemudian Hiraql berkata: Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu dalam hati manusia.
Kemudian atsar dari para ulama ahlus sunnah yang menunjukkan hal ini banyak sekali, di antaranya sebuah atsar yang sering dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmatinya – dalam beberapa kitab beliau, seperti “Miftahu daaris sa’aadah”, “Al Waabilish shayyib” dan “Ad Daa-u wad dawaa’”, yaitu ucapan salah seorang ulama: “Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan memahami dan mengamalkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”. Juga ucapan yang masyhur dari Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmatinya – yang dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitabnya “Al Waabilush shayyib” (1/69), Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”. Makna “surga di dunia” ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama2 dan sifat2-Nya dengan baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah ‘Azza wa Jalla satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang2 yang mencintai dan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Lihat “Al Waabilush shayyib” (1/69)]
Bahkan dalam kitab “Al Waabilsh shayyib” ini, Ibnul Qayyim menyebutkan kisah nyata gambaran kenikmatan hidup yang dialami guru beliau, Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah – ولا أزكي على الله أحدا –, yang kenikmatan ini justru semakin nampak pada diri beliau sewaktu beliau sedang mengalami siksaan yang berat dan celaan dari musuh-musuh beliau, karena membela dan mendakwahkan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Ibnul Qayyim berkata: “Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah), padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi bahkan sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah ‘Azza wa Jalla) yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau), tapi bersamaan dengan itu semua (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya, terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segara) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”. [Al Waabilush shayyib (1/70)]
Setelah kita merenungkan dan menghayati dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan keterangan dari para ulama di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup yang hakiki hanyalah dirasakan oleh orang yang mengisi hidupnya dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sebaliknya, orang yang berpaling dari keimanan dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia pasti akan merasakan kesengsaraan dan kesempitan hidup di dunia, sebelum nantinya di akhirat dia mendapatkan azab yang sangat pedih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
(وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sengsara (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaaha: 124)
Dan dengan ini juga kita mengetahui kelirunya penilaian kebanyakan orang jahil bahwa orang yang beriman dan bertakwa itu akan sengsara dan menderita hidupnya di dunia, karena mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu diukur dengan banyaknya harta dan kemewahan dunia yang dimiliki seseorang. Penilaian semacam ini tidak lebih dari penilaian orang-orang yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ))
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Ruum: 7)
Adapun ujian dan cobaan yang mesti dialami oleh orang yang beriman dan bertakwa di dunia ini dalam mempertahankan keimanan mereka, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits-hadits yang shahih, diantaranya sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah para Nabi ‘alaihissalam kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR. Ahmad 6/369, Ad Daarimi 2/412, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dll, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam “Shahiihul jaami’ ” 1/100)
Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan keterangan yang kami sampaikan di atas, karena kalau kita renungkan hikmah-hikmah yang agung dari ujian dan cobaan tersebut, kita dapati bahwa semua itu justru memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang beriman dalam menambah keimanan dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan cobaan tersebut untuk membersihkan dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya yang beriman (seperti yang diisyaratkan dalam hadits di atas), juga untuk semakin menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan masih banyak hikmah-hikmah yang lain, untuk lebih lengkapnya silahkan baca hikmah-hikmah ujian yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Igatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (2/187-195).
Kemudian, dari penjelasan di atas timbul satu pertanyaan, yang kemungkinan juga ada di benak pembaca tulisan ini, yaitu: kalau memang iman itu hakikatnya manis dan islam itu hakikatnya indah, mengapa kebanyakan dari kita belum merasakan hal itu ketika melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlebih lagi ibadah-ibadah yang dianggap berat oleh kebanyakan orang, seperti shalat malam, puasa sunnah, bersedekah dll? Mengapa kebanyakan dari kita masih merasakan berat dan susah ketika melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami akan mengemukakan satu contoh agar kita mudah memahami masalah ini. Kalau misalnya kita membayangkan suatu makanan yang kita anggap paling enak dan lezat, yang rasa enak dan lezatnya makanan ini disepakati oleh semua orang yang sehat dan berakal, misalnya saja: sate dan gulai kambing muda (atau terserah antum yang membaca tulisan ini, makanan apa saja yang dianggap paling enak dan lezat), seandainya makanan ini kita hidangkan di hadapan seorang yang sedang sakit demam atau sariawan, atau minimal kurang enak badan, kira-kira apa yang akan dilakukannya terhadap makanan tersebut? Apakah dia akan menyantapnya sampai habis seperti kalau makanan tersebut kita hidangkan di hadapan orang yang sehat (bahkan mungkin dia minta tambah lagi)? Jawabnya tentu saja tidak, karena sebagian dari organ tubuhnya kurang sehat dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka dia tidak bisa merasakan enak dan lezatnya makanan tersebut.
Dan dalam hal ini tentu saja yang kita permasalahkan dan perlu diperbaiki adalah kondisi orangnya dan bukan makanan tersebut. Demikian pula hal ini berlaku pada ibadah-ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan kepada kaum muslimin, kenikmatan dan kelezatan ibadah-ibadah tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang benar-benar sehat dan sempurna keimanannya, adapun orang yang kurang sehat imannya karena masih ada penyakit dalam hatinya, maka diapun belum bisa merasakan kenikmatan dan kemanisan tersebut, dan dalam hal ini berarti yang tidak beres dan perlu diperbaiki adalah hati dan keimanan orang tersebut bukan ibadah-ibadah itu sendiri. Oleh karena itu yang harus dilakukannya adalah berusaha keras dan berjuang untuk menyembuhkan dan menghilangkan penyakit tersebut, dengan cara memaksa diri untuk melakukan terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut – yang terapi ini telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan insya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kami sebutkan ringkasannya –, agar nantinya setelah penyakit hati tersebut sembuh dan imannya telah sehat, barulah dia akan merasakan kenikmatan dan kemanisan ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut, maka ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, Allah ‘Azza wa Jalla mensifati kitab-Nya Al-Quran sebagai syifa (obat/penyembuh) dalam firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً))
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al Israa’: 82)
Juga dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ))
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al-Quran) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yuunus: 57)
Kemudian dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa petunjuk yang beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bawa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala berfungsi untuk menghidupkan dan menyembuhkan penyakit hati manusia, sebagaimana hujan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ke bumi untuk menghidupkan dan menumbuhkan tanah yang gersang dan tandus.
Dari Abu Musa Al Asy’ari rodiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang (Allah Subhanahu wa Ta’ala) turunkan ke bumi…” (HSR Al Bukhari 1/42 dan Muslim 4/1787).
Maka untuk membersihkan dan mensucikan jiwa serta mengobati penyakit hati, caranya tidak lain adalah dengan mengamalkan petunjuk dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lahir dan batin, bukan dengan cara-cara bid’ah (yang diada-adakan) yang ditetapkan oleh orang/kelompok tertentu yang hanya berdasarkan mimpi, khayalan, bisikan jiwa, akal atau perasaan dan sama sekali tidak bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, seperti cara-cara dan wirid-wirid bid’ah yang dibuat-buat oleh kelompok-kelompok tarekat sufiyah dll, karena syariat islam ini adalah syariat yang lengkap dan sempurna, yang menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin dalam urusan agama mereka, terlebih lagi masalah yang penting seperti masalah pensucian jiwa dan pengobatan penyakit hati ini. Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, silahkan merujuk keterangan para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini, seperti Ibnul Qayyim dalam beberapa kitab beliau, misalnya kitab “Igatsatul lahfan”, “Ad Da-u wad dawaa’ “, “Miftahu daaris sa’aadah, Al waabilush shayyib” dll, dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali telah menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah penting ini dengan judul “Manhajul anbiyaa’ fi tazkiyatin nufuus”.
Kemudian secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk menyembuhkan penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara penyembuhan, yang beliu istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:
1. Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al-Quran dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dll.
2. Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, karena perbuatan2 tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.
Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Lihat kitab “Igatsatul lahfan” (1/16-17)]
Dan tentu saja selama proses penyembuhan penyakit hati ini seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan cara-cara penyambuhan di atas, artinya, sebelum dia mencapai kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal perjalanannya menempuh jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penyembuhan penyakit hati/imannya, dan dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan cara-cara penyembuhan tersebut agar proses penyembuhan penyakit hati tersebut berlangsung dengan baik dan sempurna, sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan misalnya. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam: “حجبت الجنّة بالمكاره و حجبت النار بالشهوات”
“Jannah (surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia” (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu)
Yang perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan diawal/permulaan menempuh jalan mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu selama proses penyembuhan dan pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya ‘Azza wa Jalla, yang kemudian setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kesungguhan dan kesabaran hamba tersebut – dan Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mengetahui segala sesuatu – barulah setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba tersebut, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan iman kepadanya. Dan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan tersebut tergantung dari besar/kecilnya kesabaran dan kesungguhan seorang hamba dalam menempuh jalan Allah ‘Azza wa Jalla ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ))
“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut: 69)
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah ‘Azza wa Jalla) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”. [Al Fawa-id (1/59)]
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisyaratkan makna ayat di atas dalam sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam: “orang yang berjihad/berjuang dengan sungguh-sungguh (yang sebenarnya) – dalam riwayat lain: Jihad/perjuangan yang paling utama – adalah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah ‘Azza wa Jalla – dalam riwayat lain: dalam ketaatan kepada Allah –” (HR. Ahmad 6/21,22, Ibnu Hibban 11/203 dll, dishahihkn oleh syaikh Al Albani dalam “Shahihul jaami’ ” 1/201 dan 1/1163)
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan proses pencapaian kebahagian yang hakiki dan kemanisan iman, yang diawali dengan kesusahan dan kepahitan, beliau berkata: “…Kebahagian (kemanisan iman) ini, meskipun pada permulaannya tidak lepas dari berbagai macam kesusahan, penderitaan dan perkara-perkara yang tidak disenangi oleh hawa nafsu, dan sesungguhnya nafsu manusia itu kalau dipaksa dan ditundukkan untuk menempuh jalan Allah ini dalam keadaan suka atau tidak, serta dipaksa untuk bersabar menghadapi kesusahan dan beratnya rintangan (yang menghalanginya), (hal itu pada akhirnya nanti) akan membawanya kepada taman-taman yang indah, tempat yang penuh kebahagiaan dan kedudukan yang mulia…”. [Miftahu daaris sa’adah (1/108)]
Beliau juga berkata: “Kalaulah bukan karena kejahilan (ketidaktahuan) mayoritas manusia akan kemanisan dan kelezatan iman, serta agungnya kedudukan ini, maka pasti mereka akan saling memerangi untuk memperebutkan hal tersebut dengan pedang-pedang mereka, akan tetapi (memang Allah Subhanahu wa Ta’ala) menghijabi (menutupi) kemanisan iman tersebut dengan perkara-perkara yang tidak disukai oleh nafsu manusia, sebagaimana mayoritas manusia juga dihalangi/ditutupi (untuk merasakan kemanisan iman tersebut) dengan hijab kejahilan, dengan tujuan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih dan mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya untuk mencapai kedudukan ini dan merasakan kemanisan iman, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala maha memiliki karunia yang agung”. [Miftahu daris sa’aadah (1/109)]
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, kami ingin menyampaikan dan mendudukkan makna sebuah hadits, yang barangkali hadits ini oleh kebanyakan orang dianggap bertentangan dengan penjelasan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas. Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2272) dll dari Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”. Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:
1. Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan2 yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam “Syarh shahih Muslim” (18/93). Penafsiran pertama ini maknanya kurang lebih sama dengan keterangan dan nukilan2 yang kami sampaikan di atas tentang kesusahan dan kepahitan yang dialami oleh seorang hamba pada tahapan awal perjalanannya menuju ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencapai kesempurnaan dan kemanisan iman.
2. Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan kejelekan dan siksaan yang Allah ‘Azza wa Jalla akan timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam tulisan beliau “Qaa’idatun fil mahabbah” (1/175), dan dalam tulisan tersebut beliau juga mejelaskan bahwa makna hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan kebahagian hakiki dan kemanisan iman yang dirasakan oleh orang yang beriman di dunia ini, seperti keterangan dan nukilan2 yang kami sampaikan di atas.
Kedua penafsiran di atas juga disebutkan oleh Al Munawi dalam kitab beliau “Faidhul Qadiir” (3/546), kemudian beliau menyebutkan suatu kisah yang terjadi pada seorang ulama ahli hadits yang sangat terkenal, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani, ketika Ibnu Hajar menjabat sebagai hakim agung di Mesir, suatu ketika Ibnu Hajar melewati sebuah pasar dengan penampilan yang indah dan menunggangi kendaran yang bagus, maka tiba-tiba datang menemui beliau tanpa izin seorang yahudi penjual minyak panas, dalam keadaan pakaiannya kotor berlumuran minyak, dan penampilannya pun sangat buruk dan dekil. Lalu orang yahudi tersebut langsung memegang tali kekang hewan tunggangan Ibnu Hajr dan berkata: Wahai syaikhul islam (gelar untuk Ibnu Hajar)! Kamu menyangka bahwa Nabi kalian (Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam) pernah bersabda: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, maka penjara macam apa yang saat ini kamu rasakan (dengan keadaanmu yang serba cukup seperti ini), dan surga macam apa yang saat ini aku rasakan (dengan keadaanku yang serba memprihatinkan seperti ini)? Maka Ibnu Hajar menjawab: (Keadaanku ini) jika dibandingkan dengan kenikmatan besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan bagiku di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini aku (hidup) di penjara, dan (keadaanmu ini) jika dibandingkan dengan azab besar dan pedih yang Allah ‘Azza wa Jalla sediakan bagimu di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini kamu (hidup) di surga. Kemudian (dengan sebab itu) orang yahudi tersebut masuk islam.
Pembahasan masalah ini adalah pembahasan yang sangat luas, dan jika ada di antara pembaca yang menginginkan pembahasan yang lebih lengkap tentang masalah ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang kami jadikan referensi dalam tulisan ini dan kitab-kitab para ulama ahlus sunnah lainnya.
Kami menyadari bahwa mestinya banyak kekurangan dalam tulisan ini karena kurangnya ilmu dan terbatasnya kemampuan kami untuk merangkai kata-kata yang indah dan mudah dipahami pembaca.
Tujuan kami menulis pembahasan ini tidak lain adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada kita semua untuk semakin bersemangat dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama yang bermanfaat [Insya Allah’Azza wa Jalla- kami akan menulis pembahasan khusus tentang ilmu yang bermanfaat dan syarat-syarat untuk mendapatkannya] yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pemahaman para ulama ahlus sunnah, kemudian berusaha untuk mengamalkan ilmu tersebut dengan baik dan benar, karena inilah satu-satunya jalan untuk mencapai dan meraih semua kebaikan dan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan bagi hambanya di dunia dan di akhirat, termasuk kebaikan dan keutamaan yang berupa kemanisan dan kelezatan iman.
Ibnul Qayyim berkata: semua sifat (baik) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hambanya dalam Al-Quran adalah buah dan hasil dari ilmu (yang bermanfaat), dan semua sifat (jelek) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cela dalam Al-Quran adalah buah dan hasil dari kejahilan. [Miftahu daaris sa’aadah (1/115)]
Dalam sebuah atsar yang shahih dari sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib rodiallahu ‘anhu [Atsar ini dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Miftahu daaris sa’adah” (1/123), dan beliau juga menukil ucapan Al Khatiib Al Baghdadi yang mengatakan bahwa hadits (atsar) ini adalah hadits yang hasan, dan termasuk hadits yang paling bagus maknanya dan paling indah susunan kata-katanya. Atsar ini juga dishahihkan oleh para ulama lainnya], ketika beliau menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dan fungsi ilmu tersebut dalam membawa mereka meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, beliau berkata: “… Ilmu itu membawa mereka (dengan tanpa mereka sadari) untuk merasakan hakikat (kesempurnaan dan kemanisan) iman, sehingga mereka merasakan ringan dan mudah (melaksanakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang semua ini dirasakan berat oleh orang-orang yang melampaui batas (sehingga lalai dari ilmu), dan mereka merasa senang dan suka (melakukan amalan-amalan shaleh dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla) yang semua ini tidak disukai oleh orang-orang yang jahil…”.
Terakhir, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, dan menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Shafar 1427 H
Abul Hasan Abdullah bin Taslim Al Buthoni

Makna Risalah dan Rasul

• Risalah: Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Rasul: Seorang laki-laki (21:7) yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.

Pentingnya iman kepada Rasul
• Iman kepada para rasul adalah salah satu Rukun Iman. Seseorang tidak dianggap muslim dan mukmin kecuali ia beriman bahwa Allah mengutus para rasul yang menginterprestasikan hakekat yang sebenarnya dari agama Islam, yaitu Tauhidullah .
• Juga tidak dianggap beriman atau muslim kecuali ia beriman kepada seluruh rasul, dan tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. (Al-Asyqor:56)

Tugas para rasul
1. Menyampaikan (tablig) [5:67, 33:39]. Yang disampaikan berupa:
• Ma’rifatullah [6:102] (Mengenal hakikat Allah) .
• Tauhidullah [21:25] [Mengesakan Allah] .
• Basyir wa nadzir [6:48] (Memberi kabar gembira dan peringatan)
2. Mendidik dan Membimbing [62:2]

Sifat-sifat para rasul
1. Mereka adalah manusia (17:93-94,8:110]
2. Ma’shum [terjaga dari kesalahan] [3:161, 53:1-4]
3. Sebagai suri teladan [33:2l, 6:89-90]

Referensi
• Kelompok Studi Al-Ummah, Aqidah Seorang Muslim, hal. 60-71
• Al-Asyqor, Dr. Limar Sulaiman, Para Rasul dan Risalahnya, Pustaka Mantiq

Ma’rifatullah

MUQADDIMAH

Sesungguhnya kewajiban yang mula-mula sekali atas setiap manusia ialah mengenal akan Allah swt atas dasar ilmu. (Muhammad 47:19) Kemudian mengetahui akan Rasulullah saw dan membenarkan risalah nya atas dasar pengetahuan yang yakin tanpa keraguan. (Ar Ra'd 13:19) Selanjutnya wajib atas manusia mengetahui akan Diennya yang telah diperintahkan oleh Allah swt untuk mengikuti dengan penuh ketaatan dan menolak selainnya, sebab dengan penolakkan itu menjadi syarat seseorang dapat beribadah kepada Allah dengan betul dan benar. (Al An'am 6:153)

Orang yang paling tinggi darjatnya ialah orang yang berilmu dan beriman. Dan ilmu itu mestilah dengan mencari dan mendapatkan maklumat yang lengkap dan sempurna. Dan pokok dasar ilmu itu ialah Ma'rifatullah (Mengenal Allah), Ma'rifaturrasul (Mengenal Rasul) dan Ma'rifatu Dienil Islam (Mengenal Dienul Islam). Inilah sepenting penting kewajiban yang mesti diketahui oleh setiap Insan, sebab seseorang itu apabila dia melakukan amal ibadah tanpa didasari atas ma'rifat kepada Allah swt maka sia-sialah seluruh aktiviti (kegiatan) kehidupannya. (Al Furqan 25:22-23)

Seseorang telah datang menanyakan sesuatu persoalan kepada Rasulullah saw. Katanya: Wahai Rasulullah, apakah amalan yang paling afdhal (utama)? Beliau menjawab: Ilmu Tentang Allah Azaa wa Jalla. Orang itu bertanya lagi, Ilmu apakah yang tuan maksudkan? Beliau menjawab: Ilmu Tentang Allah Yang Maha Suci. Maka orang itu bertanya lagi, kami tanyakan tentang amal yang paling utama, sedang tuan menjawab Ilmu. Beliau menjawab: sesungguhnya sedikit amal dengan berma'rifatullah akan bermanfaat, sebaliknya banyak amal sekalipun, tetapi jahil tentang Allah tidak ada manfaatnya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdul Bar)

Ma'rifatullah atau mengenal Allah Azza wa Jalla. adalah ilmu yang paling asas, kedudukannya dalam Islam sangat penting, tinggi dan mulia. Ini kerana Ia merupakan asas dibangunkan segala amal dalam kehidupan. Dari sanalah dibangun Ma'rifaturrasul dan Ma'rifatu Dienil Islam secara utuh.


CARA MA’RIFATULLAH

Apabila manusia menggunakan akal fikirannya sedikit saja, ia akan mendapati dan menemukan bahawa Allah lah yang telah menciptakan alam semesta termasuk manusia dan memberikan baginya alat-alat terpenting untuk mengenal dan mengetahui segala macam Ilmu Dien dan Ilmu Dunia, dan tidak mungkin bagi seorang itu memperoleh ilmu sedikitpun melainkan dengan alat-alat tersebut iaitu pendengaran, penglihatan dan hati. (An Nahl 16:78)

Tanpa manusia mengenal penciptanya. tidaklah ia mengikuti petunjuk Nya yang akan membawanya kepada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, sebaliknya ia akan menjadi orang-orang yang rugi. Oleh kerana itu maka kewajiban manusia yang pertama ialah mengenal Allah swt. Metod untuk Ma’rifatullah ialah dengan Petunjuk Dienul Islam dan dibantu pula dengan Ma’rifatullah menggunakan Petunjuk Akal Fikiran.


MA’RIFATULLAH DENGAN PETUNJUK DIENUL ISLAM

Melalui Petunjuk Dienul Islam, terdapat tiga kaedah untuk Ma’rifatullah atau Mengenal Allah iaitu dengan Ma’rifah Fie Rububiyyatihi iaitu Mengenal Allah melalui Rububiyyah Nya, Ma’rifah Fie Asmaihi Wa Sifatihi iaitu Mengenal Allah melalui Asma’ (nama) dan Sifat Nya dan Ma’rifah Fie Uluhiyyatihi iaitu Mengenal Allah melalui Uluhiyyah Nya.


MA’RIFATULLAH MELALUI RUBUBIYYAH NYA

Maksudnya ialah berma'rifah bahawa Allah adalah Rabb semesta alam, Pencipta segala makhluk, Pemiliknya, Pengatur, Pemberi Rezeki dan Dialah yang telah mengajar dan mendidik para Nabi, Rasul dan pengikutnya diatas aqidah yang benar, akhlaq yang terpuji, ilmu yang bermanfaat dan amal yang soleh. (Al Fatihah 1:2; Az Zumar 39:62; Ali Imran 3:189; Ar Ra’d 13:2; Al Ankabut 29:60; Ar Rahman 55:1-4)


MA’RIFATULLAH MELALUI ASMA’ DAN SIFAT NYA

Iaitu berma'rifah bahawa Allah mempunyai nama-nama yang agung dan sifat-sifat yang tinggi yang Dia beritahukan melalui lisan Rasul Nya (Al Quran dan As Sunnah). Al Asmaul Husna tidaklah terbatas kepada yang termaktub di dalam Al Quran dan As Sunnah.

Rasulullah saw bersabda:
Tidaklah seseorang ditimpa keresahan (kecemasan) dan kesedihan kemudian dia berkata, Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba Mu, anak dari hamba Mu (lelaki) dan anak dari hamba Mu (perempuan), ubun-ubunku ada di tangan Mu, hukum Mu berjalan padaku, Keputusan Mu adil bagiku, aku meminta kepada Mu dengan (berwasilahkan) semua nama yang Engkau miliki, Engkau namakan diri Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab Mu atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu dari makhluk Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi Mu, agar Engkau jadikan Al Quran yang agung sebagai petunjuk hatiku, cahaya kalbuku, penghapus kesedihanku dan penghilang kegelisahanku, kecuali Allah akan menghapus kesedihan dan keresahannya dan menggantikannya dengan kelapangan. (Hadis Riwayat Ahmad bin Hambal)

Nama-nama Allah, sifat-sifat Nya serta zat Nya, tidaklah sama dengan nama, sifat dan zat makhluk Nya. (As Syura 42:11; Al A’raf 7:180)
Diantara beberapa Al Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah termaktub dalam ayat dan hadis berikut: (Al Hasyr 59:23-24; As Sajadah 32:4)

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra katanya: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Allah tersenyum terhadap dua orang lelaki, salah seorang darinya membunuh yang seorang lagi namun kedua-duanya dimasukkan ke dalam Syurga. Para Sahabat bertanya: Bagaimana boleh terjadi begitu wahai Rasulullah? Baginda bersabda: Seseorang yang ikut berperang pada jalan Allah lalu beliau mati syahid, kemudian orang yang membunuh tadi telah bertaubat dan Allah telah menerima taubatnya. Setelah memeluk Islam beliau juga turut keluar berperang pada jalan Allah, kemudian beliau juga mati syahid.


MA’RIFATULLAH MELALUI ULUHIYYATIHI

Iaitu berma'rifah bahawa Allah sahajalah yang berhak atas penghambaan dan peribadatan daripada keseluruhan makhluk Nya. Keesaan Allah didalam kesempurnaan Al Asmaul Husna, sifat-sifat Nya dan Rububiyyah Nya menuntut ‘Tiada yang berhaq diibadahi selain Dia’. Segala makhluk harus memurnikan ibadah hanya kepada Allah sahaja. (Al An’am 6:101; Az Zariyat 51:56; Al Hijr 15:99; Yusuf 12:40,67)


MA’RIFATULLAH DENGAN PETUNJUK AKAL FIKIRAN

Kaedah Pertama: Sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin mencipta sesuatu. Sesuatu yang tidak wujud (ada) baginya, tiadalah dapat ia menciptakan/ menjadikan sesuatu kerana ia tidak wujud (ada). Padahal apabila kita fikirkan makhluk yang lahir dari bangsa manusia, haiwan dan tumbuh-tumbuhan, dan jelasnya mereka semuanya wujud di alam nyata. Juga seperti angin, hujan, malam dan siang, dan kita lihat benda-benda yang bergerak, berputar, beredar dalam satu aturan yang tertib dan rapi. Dan cuba kita arahkan pandangan kepada planet matahari, bulan, bintang-bintang dan sebagainya dalam sistem Bima Sakti, maka jangkauan akal menetapkan bahawa semua itu bukan dicipta oleh sesuatu yang tidak wujud, sesungguhnya dia berasal dari ciptaan yang Maha Pencipta yang wujud dalam semesta ini (At-Tur 52:35-36).

Kaedah kedua: Segala sesuatu yang tercipta menunjukkan sebagai sifat pembuat (pencipta). Sesungguhnya segala yang didapati di alam yang wujud menunjukan atas adanya kuasa atau sifat-sifat pembuat (Penciptanya). Sebagaimana tidaklah mungkin wujud sesuatu jika penciptanya tidak mempunyai kekuasaaan atau sifat yang boleh menjadikan sesuatu. Maka dalam kaedah ini kita mendapatkan sesuatu hukum teori Sebab-Akibat yang beerti bahawa adanya sesuatu menunjukkan sebab adanya Pencipta, iaitu Allah s.w.t sebagai sumber segala sebab itu (Prima Causa).

Dan hakikat kejadian alam semesta ini mestilah tertakluk kepada peraturan jangkauan akal, iaitu: Wajib, Mustahil dan Jaiz (mungkin). Wajib pada akal adalah sesuatu yang pasti diterima logik dan tidak dapat ditolak. Manakala mustahil ialah sesuatu perkara yang mesti ditolak oleh akal fikiran. Sedang Jaiz adalah sesuatu yang fikiran mengatakan boleh jadi ada dan berlaku dan boleh jadi tiada dan tidak berlaku. Adapun alam raya yang rapi dan sangat teratur ini akal fikiran tidak dapat menolak, ia telah wujud dan pastilah ada pula yang mewujudkannya (menciptakannya). Itulah Allah Rabbul Alamin. Dan tidaklah masuk akal (logik) jika alam ini terjadi tanpa ada yang menjadikannya.

Maka orang yang menggunakan akal fikirannya dengan sebaik-baiknya pastilah ia akan sampai kepada suatu peringkat untuk Ma'rifatullah, kemudian akan beriman secara bersungguh-sungguh kepada Nya. (Al Jathiyah 45:3-6; Al A'raf 7:85)


AKIBAT BURUK MENAFIKAN PERANAN AKAL FIKIRAN

Ketinggian dan kemuliaan yang diberikan kepada manusia dibanding dengan mahkluk lainnya ialah pada akal fikiran. Apabila manusia tidak menggunakan dan memfungsikannya sebagaimana mestinya maka kedudukannya akan turun hingga taraf yang lebih rendah. (Al A'raf 7:179)

Sesungguhnya orang yang tidak menggunakan akal fikirannya secara terbuka, maka ia akan menjadi penghalang bagi masuknya kebenaran. Dan ia akan menjadi pengekor dan pengikut kebatilan dalam segala aspek kehidupannya. Yang mereka ikuti hanyalah akal orang lain, yang dapat memberi manfaat dunia, sedikit dalam kehidupannya. (Al Baqarah 2:170; Al Maidah 5:104; Lukman 31:21)


PUJIAN BAGI MANUSIA YANG MENGGUNAKAN AKAL FIKIRAN

Orang-orang yang menggunakan akal fikirannya mengikuti kaedah-kaedah yang telah ditetapkan padanya (dengan berfikir berlandaskan Al Quran dan As Sunnah dan tidak mendahulukan pendapat sendiri berbanding pendapat Allah dan Rasulnya), Allah memberikan sanjungan yang tinggi sebagai orang-orang yang mendapat hidayah dan taufiq Allah s.w.t. (Az Zumar 39:17-18) Orang-orang yang memiliki akal fikiran yang waras ialah orang orang yang mempunyai sifat:
1. Selalu memikirkan ciptaan Allah.
2. Selalu berzikir.
3. Banyak berdoa.
(Ali Imran 3:190-194)

Ma’rifatullah Puncak Akidah Islam

1. KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM

Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :

1. Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas dsb.

2. Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” QS. 30:30

3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. 42:21

4. Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” QS 2:111

5. Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” QS. 43:22



2. PENGERTIAN MA’RIFATULLAH

Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.

Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.



3. CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH

Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali

1. asma’ (nama) Allah

2. sifat Allah dan

3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.



Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :

1. sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,

2. ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,

3. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT

4. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya

5. berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya

6. membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.



Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS. 35:28

Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.

Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”



4. URGENSI MA’RIFATULLAH

a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12

b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.

Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.

c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.

d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.

e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.



5. SARANA MA’RIFATULLAH

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :

a. Akal sehat

Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191

Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim



b. Para Rasul

Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25



c. Asma dan Sifat Allah

Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :

“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110

Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :

“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180



Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More